MESI.SILAK KORLAP UMUM Aksi Hari Sabtu 10 Desember 2022. menyampaikan
semua warga yang sudah ikut terlibat dalam pelanggaran HAM hari ini tanggal 10 setiap warga negara memperingati sedunia dan papua pun memperingati hal itu Dan kami hari ini tahu bahwa ada pelanggaran di Papua sehingga kami ke yang baik bersama kawan-kawan mahasiswa dan kita turun Jalan Namun kami di blok d oleh pihak kepolisian dan hari ini juga mereka dorong sudah tahu kalau hari ini adalah hari-hari sedunia tapi malah melangar HAM itu sendiri lagi sehingga kami minta kepada pihak kepolisian Polresta Jayapura Polda Papua dan juga kepada Kapolsek untuk bertanggung jawab atas perbuatan hari ini karena hari ini bukan hanya tembok barat dan juga penangkapan terus angkat motor di ajang kami taruh di lingkaran dan mungkin tidak sampai satu hari tapi kawan-kawan yang sudah dapat hari ini juga harus dibebaskan itu menjadi keturunan kami kepada kepolisian karena sesuai dengan hukum Indonesia yang diatur dalam menyampaikan pendapat kami sudah sampaikan dan juga melalui aturan kita sudah laksanakan namun dengan kekuatan kepolisian mereka berbobarkan kita sehingga hari ini kami minta kepada pemerintah republik Indonesia sekalian menjelaskan pelanggaran HAM yang terjadi di tanah Papua
AGUS.KOSAI KETUA UMUM Badan Pengurus Pusat Komite Nasional Papua Barat BPP- KNPB
Menyatakan. bahwa hari ini dalam rangka hari HAM sedunia seluruh rakyat di muka bumi ini memperingati hari HAM sedunia melihat penindasan ketidakadilan negara terhadap warga pribumi terutama kami hari ini lakukan aksi secara bersama-sama terutama komite nasional Papua Barat juga yang teman-teman mahasiswa terlibat dalam aksi hari HAM sedunia dan itu dilakukan di seluruh Papua terutama juga di luar Papua itu teman-teman Manado juga di seluruh dari peristiwa itu adalah apa hari yang diperingati oleh seluruh umat atau seluruh manusia yang mengalami penindasan di pulau atau di manapun mereka berada tetapi Indonesia merupakan salah satu negara anggota PBB yang pernah merah dikasih undang-undang apa itu apa hak asasi manusia tapi hari ini masih masih saja kami masih memperingati hari hak asasi manusia kita dengan kekuatan negara kami dibubarkan paksa di Wamena itu ada 32 orang ditangkap dan ditahan masih ada di Poris jaya desain kami ada 52 orang ditangkap dan ditahan lalu apa apa 5 orang kemudian waktu pembubaran paksa dan penyisiran di rumah-rumah warga lakukan penangkapan terhadap tiga orang jadi kami sampaikan bahwa Indonesia sebagai negara anggota PBB wajib menghormati apa yang menjadi undang-undang yang disahkan secara universal dan kami sebagai warga negara Indonesia kami juga untuk kami sudah patuhi aturan yang berlaku di republik Indonesia ini dari kami rasa bahwa tindakan aparat itu sudah melebihi mereka melakukan penangkapan pemukulan Apa itu penyiksaan pembicaraan itu adalah sudah melanggar hak asasi manusia dari kami dengan tegas bahwa semua upaya negara yang dilakukan dan apapun alasan apapun sikap Kami tetap melakukan perlawanan di atas negeri kami selama keadilan dan pelanggaran hak asasi belum selesai kami akan terus berjuang itu mungkin ketegasan dari kami
Pernyataan Sikap 10 Desember 2022
Kekuasaan Indonesia sebagai pemerintah sementara sekaligus menjadi kolonial memegang kendali administrasi West Papua selama 61 tahun tidak menjamin hak hidup orang dan terancam punah di tanah air sendiri.
Keberadaan Pemerintahan Indonesia di Papua berdasarkan Hukum Internasional tidak mengikat ilegal dan status wilayah Papua masih belum memiliki Pemerintahan resmi.
Status Pemerintah pemerintahan sementara selama 61 tahun berkuasa di West Papua berdasarkan mandat perjanjian New York Agreement 1962 dimana PBB amanatkan pemerintahan di West New Guinea ( West Papua) kepada United Nations Temporary Executive Authority (Untea).
Pada 1 November 1962 Administrasi pemerintahan West Papua dari Belanda Serahkan Administrasi kepada pemerintahan sementara PBB ( UNTEA).
UNTEA menjalankan tugasnya sebagai pemerintahan hanya 7 bulan mulai terhitung 2 November 1962 sampai 1 mei 1963. Selanjutnya atas desakan Indonesia dan Amerika Serikat UNTEA serahkan Administrasi pemerintahan West Papua kepada Indonesia berdasarkan perjanjian Roma Agreement di Italia 30 September 1962. Status pemerintahan West Papua diserahkan dari UNTEA ke Indonesia statusnya sementara bukan pemerintahan resmi. Tugas pemerintahan sementara Indonesia untuk persiapkan proses pelaksanaan Referendum berdasarkan perjanjian New York Agreement 15 Agustus 1962.
Namun pelaksanaan Pepera 1969 di Papua direkayasa dan dimenangkan militer Indonesia dan melaporkan kepada PBB hasil manipulasi dan rekayasa militer bahwa orang asli Papua memilih bergabung dengan Indonesia. Pada hal pelaksanaan Referendum di West Papua tidak berjalan sesuai dengan perjanjian New York Agreement pasal 18 tentang satu orang satu suara hanya 1.025 memilih bergabung indonesia dalam tekanan militer. Ini merupakan kejahatan dilakukan oleh Indonesia. Hasil Pepera 1969 diperdebatkan di PBB. 42 Negara dipimpin Afrika dan caribian menolak hasil pepera tidak demokratis dan mengusulkan referendum ulang di West Papua. Sedangkan 14 Negara mendukung indonesia dan setuju hasil pepera yang dilaporkan, sedangkan 30 an negara lainnya abstain atau tidak memberikan suara. Perdebatan alot terjadi di PBB tidak ada satu resolusi yang diadopsi bahwa West Papua bagian dari Indonesia. Akibatnya ada kesepakatan Belada dan Indonesia sepakat membagun papua selama 25 tahun.Sehingga atas dasar kesepakatan itu PBB menulis nomor perkara dalam agenda PBB dengan nomor 2504 dengan catatan Indonesia dan Belanda membangun papua sema 25 tahun adminitrai West Papua dikembalikan ke PBB untuk referendum ulang berdasarkan usulan 42 Negara yang menolak hasil pepera yang tidak demokratis tersebut.
Melihat dari proses tersebut maka keberadaan Indonesia saat ini di Papua ilegal.
RAKYAT PAPUA DALAM CENGKRAMAN KOLONIALISME, KAPITALISME DAN IMPERIALISME
Kondisi objektif rakyat Papua hari ini mengantarkan kita pada sebuah kesadaran penuh bahwa hidup kita sebagai manusia Papua penuh dengan penderitaan dan tersingkir dalam jurang penindasan berlapis, yang membuat kita seperti sedang menunggu kapan kematian itu datang dan menjemput kita. Penindasan rakyat Papua hari ini tidak terlepas dari hadirnya kolonialisme, kapitalisme dan imperialisme, yang memasung tubuh dan pikiran kita dalam rantai penjajahan, penjarahan dan penghisapan.
Pelanggaran HAM di Papua Barat
Kita telah melalui 1 Desember 2022 sebagai Hari Manifesto Politik Papua Barat. Mengenang 1 Desember 1961, kita perlu mengingat bahwa kita telah merdeka, tetapi usia kemerdekaan itu hanya bertahan 19 Hari karena kemerdekaan bagi Papua Barat adalah bencana bagi Indonesia. Kemerdekaan Papua Barat disambut dengan Tri Komando Rakyat (TRIKORA) yang dikumandangkan oleh Soekarno di alun-alun Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1961, yang berisi :
1. Gagalkan Negara Boneka buatan Belanda Kolonial
2. Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia
3. Bersiaplah untuk Mobilisasi Umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Tanah Air dan Bangsa
Sejak Operasi TRIKORA dikumandangkan, sejak itu militerisme Indonesia mulai masuk dengan leluasa, menyiksa hingga membunuh rakyat Papua. Tercatat 16 Operasi Militer yang terjadi sejak tahun 1962-2004 di Papua Barat, yaitu Operasi Komando Mandala (1962) Operasi Wisnumurti I dan II (1963-1964), Operasi Wisnumurti III dan IV (1964-1966), Operasi Baratayudha (1966), Operasi Sadar, Operasi Baratayudha & Operasi Wibawa (1968), Operasi Pamungkas (1970-1974),Operasi Koteka, Operasi Kikis (1977-1978), Operasi Sapu Bersih (1978-1984), Operasi Sate (1984), Operasi Galak I (1985-1987), Operasi Galak II (1986-1987), Operasi Kasuari I & II (1987-1989), Operasi Rajawali I dan II (1989-1991), Operasi Pengamanan Daerah Rawan (1998-1999), Operasi Pengendalian Pengibaran (1999-2002), dan Operasi Penyisiran di Wamena (2002-2004).
Sebelum PEPERA dilaksanakan diperkirakan 1500 orang tewas di wilayah Sorong karena dilempari granat dan bom, selain itu militer juga masuk dan membakar kampung di Ayamaru, Teminabuan, dan Inanwatan. PEPERA sendiri gagal dan cacat hukum karena ketentuannya adalah satu orang satu suara, tetapi dari 800.000 rakyat Papua tahun 1969 hanya 1025 orang yang disertakan untuk memilih bergabung bersama Indonesia.
Di Tahun 1974-1975 terjadi pembunuhan massal di Biak dan hanya 207 orang tewas yang berhasil didata. Tahun 1977 terjadi di Lembah Baliem hampir 3000 jiwa harus menjadi korban, dimana rakyat di Wamena di bom, ditembak dan diperkosa oleh Militer Indonesia. Ditahun yang sama militer membom daerah selatan di Jayapura dan menyebabkan 1.605 orang tewas.
Tahun 1980-1984 militer melakukan penyisiran, penembakan, dan pembunuhan yang menyebabkan 10.000 melarikan diri ke PNG, namun hanya 7.500 orang yang berhasil tiba dengan selamat sementara 1.900 berdiam diri di hutan-hutan di Papua. Dan ditahun yang sama Arnold Ap dibunuh.
Dalam Operasi Kasuari dan Operasi Rajawali di Daerah Arso sampai Waris telah menunjukkan 1000 orang tewas. Dan dalam kurun waktu 1966-1980 sekitar 500.000 sampai 600.000 orang dicap separatis dibunuh. Dan pada Era Reformasi 43 orang Papua di Biak dibunuh dan 150 orang disiksa dan ditangkap. Selain itu di Wamena pada tahun 2000, 37 orang warga sipil, 189 orang terluka dan sebanyak 13.565 orang mengungsi dan 83 orang masyarakat sipil dijadikan tahanan politik.
Kekerasan militer telah terjadi diseluruh wilayah Papua, baik di Lapago, Meepago, Tabi, Anim-Ha, Saireri, Bomberai dan Domberai. Namun pemisahan antara gunung dan pantai telah membuat kita terpecah dan terbagi dalam dua kubu padahal kita mengalami masalah yang sama, yaitu penjajahan. Penjajahan yang menggunakan rasisme dan militerisme dan dibiayai dengan kapitalisme yang mengeruk.
Pelanggaran HAM Dalam Tahun 2022
Dosa Indonesia terhadap rakyat Papua tidak pernah habis, ini berlanjut terus sampai hari ini. Dalam tahun ini Polda Papua melakukan 11 Operasi pada tahun 2022 dengan sandi dan sasaran selama 2022; Operasi itu adalah Operasi Aman Nusa, Operasi Bina Kusuma, Operasi Nemakawi, Operasi Damai Cartenz Operasi Ketupat, Operasi Amole, Operasi Lilin dan Operasi Zebra.
Ini belum termasuk dengan pengiriman pasukan militer ke Papua sebanyak 13x dengan 3.657 Personil TNI Polri selama bulan Januari-Agustus 2022.
Ini yang terdata, sementara jumlah yang tidak terdata karena tidak dipublish masih belum diketahui, artinya masih ada operasi yang dilakukan dan tidak ketahui berapa jumlah militer organik dan non organik yang dikirimkan untuk melakukan penyisiran dan pembunuhan terhadap orang Papua.
Dalam tahun ini ada delapan daerah operasi militer, yang melakukan penyisiran hingga menyebabkan masyarakat sipil lari dan mengungsi; Nduga, Intan Jaya, Puncak, Pegunungan Bintang, Yahukimo, Mimika, Maybrat, dan Yapen.
Puluhan ribu masyarakat sipil sedang berada dalam pengungsian sebagai akibat dari berbagai operasi militer yang dilakukan.
Ada begitu banyak kekerasan yang terjadi dalam tahun ini. Pertama tindakan kekerasan terhadap anak, baik berupa pemukulan , penyiksaan, penembakan dan pembunuhan terhadap anak-anak. Pertama kasus penyiksaan terhadap tujuh anak SD di Puncak, dimana satu anak tewas, yaitu Makilon Tabuni (Maret 2022), Kasus Mutilasi di Timika, dimana satu korban adalah anak berusia 17 tahun (Agustus 2022), Penyiksaan tiga anak di Keerom (Oktober 2022), dan penembakan satu anak perempuan di Kampung Yokatapa, Intan Jaya (November 2022).
Selain itu Kasus Mutilasi di Timika dan Kasus penyiksaan tiga orang di Mappi belum ada kejelasan hukum bagi para pelaku.
Berbagai peristiwa lainnya pun muncul seperti pembatasan ruang demonstrasi dengan pengarahan pasukan hingga dua ribu pasukan untuk membubarkan aksi demonstrasi PRP di Numbay, penembakan dua demonstran di Yakob Meklok dn Esron Weipsa di Yahukimo. Pembatasan ruang demonstrasi yang berakibat pada penangkapan sewenang-wenang, yang mengakibatkan puluhan aktivis selalu dikriminalisasi, diteror dan diintimidasi, bahkan ruang privat, seperti HP dan sosial media pun diretas oleh aparat. Setiap penolakan terhadap negara selalu direspon dengan serangan digital oleh buzzer. Pembatasan semacam ini semua terjadi bahkan bukan di Papua saja, tetapi sampai di belasan Provinsi di Indonesia. Bahkan mahasiswa Papua di Makassar dan di Bali harus terkurung karena konflik horizontal yang dimainkan oleh mahasiswa Papua dan kelompok NKRI.
Semua kekerasan negara harus ditambah dengan kematian misterius pejuang kemerdekaan Bangsa Papua, Bapak Filep Karma yang meninggal pada tanggal 1 November 2022 dan ditemui jasadnya di Base G. Tahun 2022 penuh dengan misteri, namun satu hal yang pasti bahwa selama Papua masih dalam cengkraman Indonesia, maka nyawa rakyat Papua adalah halal untuk dibunuh, dibantai dan dihabisi.
Akibat dari sejumlah operasi militer ini banyak korban rakyat sipil pelanggaran HAM terus terjadi di Papua selama 61 tahun operasi militer sejak 1962 -2022 ini.
Jika kita hitung keberadaan pemerintah sementara Indonesia di papua sejak UNTEA menyerahkan administrasi kepada Indonesia 1 mei 1963 maka 59 tahun berkuasa terus melakukan Kekerasan, pelanggaran HAM secara masif dan terstruktur terus berlangsung di West Papua atas nama keamanan dan kedaulatan negara.
Kasus kekerasan dan pelanggaran HAM Berat belum pernah diselesaikan secara adil adalah kasus biak berdarah, kasus wamena berdarah, kasus Wasior berdarah dan kasus Abepura berdarah dan kasus Paniai berdarah.
Kasus paniai berdarah sekalipun mendorong di pengadilan HAM di makasar namun pelaku divonis bebas sehingga sehingga penyelesaian kasus Paniai di makassar untuk mencuci nama baik pemerintahan Indonesia dan nama baik indonesia di muka internasional.
Kemudian kekerasan negara dan pelanggaran HAM meningkat sejak kasus RASISME 2019 sampai dengan penembakan warga sipil di Nduga, Intan Jaya, puncak Ilaga, Maybrat, pegunungan bintang, Yahukimo.
Kasus terakhir tahun 2022 adalah kasus Pembunuhan dan Mutilasi di Timika, kasus Penyiksaan di Mappi dan kasus Penyiksaan di keerom dilakukan oleh militer.Kemudian beberapa kasus kekerasan di Paniai dan Dogiyai.
Selain itu penembakan warga sipil dalam aksi demonstrasi tahun 2021 dan tahun 2022 di Yahukimo yang dilakukan kepolisian tidak pernah melakukan penyelidikan secara independen dan pelakunya diadili untuk memberikan rasa keadilan kepada Bangsa Papua dan lebih khusus kepada keluarga korban.
Semua kekerasan negara dan Pelanggaran HAM Papua terkesan sengaja diabaikan oleh negara dengan tujuan orang asli Papua punah secara masif, sistematis dan terstruktur agar orang asli Papua punah supaya Indonesia lebih leluasa menguasai tanah Papua sebagai surga bagi masa depan anak cucunya orang Indonesia.
Di Sisi lain konflik di West Papua dijadikan proyek bagi militer untuk mendapatkan keuntungan melalui bisnis senjata dan amunisi dan anggaran atas keamanan di Papua.
Dampak dari sejumlah kasus kekerasan operasi di Papua ini orang asli Papua menjadi minoritas dan termarginalisasi di tanah sendiri. Populasi jumlah orang asli Papua Tahun 1962 jumlah orang asli Papua 8.000 juta jiwa namun sejak pemerintahan sementara di West Papua diambil alih oleh Indonesia jumlah orang asli Papua papua 43%, data statistik tahun 2010 orang asli Papua 2 juta maka 12 tahun terakhir jumlah orang asli Papua diperkirakan 1.500 (satu juta lima ratus jiwa) karena 3 tahun terakhir orang asli Papua banyak meninggal karena kekerasan negara melalui operasi militer.
Kematian melalui rumah sakit, melalui racun melalui penyakit HIV/AIDS dan kematian misterius yang terjadi terhadap pejabat orang asli Papua dalam birokrasi kolonial Indonesia 3 tahun terakhir.
Selain itu hak-hak orang asli Papua terus dirampas oleh negara hak tanah masyarakat adat papua atas nama pembangunan dan kepentingan investasi berdampak pada kehidupan orang asli Papua tergantung pada alam dan pangan lokal, karena hutan sagu di babat habis gunung digusur mengakibatkan deforestasi hutan dan lingkungan.
Perampasan hak politik hak demokrasi dan hak hidup, diskriminasi, marginalisasi rasisme terhadap orang asli Papua menjadi terus subur.
Masa depan orang asli Papua terancam punah secara sistematis jika tidak diselamatkan.
Oleh karena itu kami Komite Nasional Papua Barat KNPB menyampaikan pernyataan sikap melalui peringati hari HAM Sedunia yang ke 72 tahun ini sebagai berikut:
1.Meminta Indonesia untuk wajib menghormati dan melindungi kebebasan rakyat Papua (termasuk KNPB) untuk berkumpul, berserikat, berpendapat dan berekspresi sesuai Deklarasi universal HAM PBB, tanggal 10 Desember 1948) yang telah diratifikasi Indonesia.
2. Minta Indonesia hentikan/tarik Otsus, Pemekaran, pendropan TNI/Polri dan investasi. (eksploitasi SDA) dari tanah Papua.
3. Segera buka akses Komisi HAM PBB, Palang Merah Internasional dan Jurnalis asing memantau situasi HAM di Papua, terutama di daerah konflik bersenjata terutama 6 kabupaten rakyat sipil menguasai di hutan.
4.Keberlanjutan kolonialisme Indonesia dalam segala bentuk manifestasi adalah kejahatan yang melanggar piagam piagam PBB dan jaminan kemerdekaan terhadap negeri jajahan serta prinsip hukum internasional sesuai resolusi PBB nomor 2621 (xxv). Oleh karena itu, Indonesia segera mewujudkan hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua.
5. Segera Usut tuntas kasus pembunuhan dan Mutilasi
4 warga sipil di Timika dan pelaku segera adili di pengadilan umum
6. Kami KNPB bersama seluruh komponen rakyat Papua menolak pengesahan Rancangan Undang undang hukum pidana RKUHP ;
7. Segera tarik Militer dari tanah Papua baik militer organik maupun non organik;
8. Menyampaikan kepada rakyat Papua bersatu mewujudkan MSN secara damai sebagai sikap dan tindakan moral untuk mewujudkan hak penentuan nasib sendiri.
Demikian Pernyataan Ini kami keluarkan dengan penuh tanggung jawab atas perhatian disampaikan terima kasih.
Badan Pengurus Pusat
Komite Nasional Papua Barat BPP- KNPB
Agus Kossay
Ketua Umum




Tidak ada komentar:
Posting Komentar