Foto leoni.tanggahma.pejung hak politik orang papua
Perjuang Perempuan Papua dikancah Politik untuk mempertahankan harkat dan martabat Orang Asli Papua tercatat sejak Angganita Manufandu memimpin warga 3 (tiga) melawan Jepang yang sedang menguasai Pulau Byak pada tahun 1940-an (dimasa Perang dunia kedua).
Peran Perempuan Papua dalam Kancah Politik Papua terus berkembang keranah yang lebih modern dimana pada tahun 1950an hingga tahun 1961 ketika Belanda memberikan Ruang Politik yang seluas-luasnya kepada Orang Asli Papua terlihat dalam barisan anggota Nieuw Guinea Raad (Dewan Perwakilan Rakyat di Masa Pemerintahan Belanda atas wilayah Papua) ada seorang Perempuan Papua atas nama Hanasby Tokoro yang menjadi Anggota New Guinea Raad. Pada perkembangannya beliau juga terlibat sebagai salah satu anggota Komite Nasional Papua yang turut membahas tentang Perangkat Kenegaraan Negara West Papua yang dilegalkan mengunakan Peraturan Pemerintah Pada Masa Pemerintahan Belanda Atas Papua yang selanjutnya disebutkan sebagai Negara Boneka Buatan Kolonial Belanda Oleh Presiden Republik Indonesia pada point Pertama isi Trikora yang dicetuskan pada tanggal 19 Desember 1961 di Alun-alun Utara Yogyakarta.
Selanjutnya pada tahun 1980-an terlihat melalui nyanyian-nyanyian ratapan dan bala kemanusiaan Oksilia Monim (Dokteranda Pertama di Bidang Antropologi) dan kawan-kawan bersama Grub Musik Mambesak Pimpinan Arnold C Ap. Selain itu, Mama Yosepa Alomang yang awalnya menjadi korban kekejaman Militeristik berdiri menjadi Perjuangan Politik Papua hingga akhirnya mendapatkan Nobel Lingkungan Hidup atas perjuangannya melawan PT. Freeport Mc Morand And Gold Copper Ink atau PT. Freeport Indonesia yang telah menghancurkan Alam Bumi Amungsal hingga meluluhlantarkan Rumah Para Leluhur Amungsal di Nemangkawi
Pada akhir tahun 1990-an bersamaan dengan Gerakan Reformasi di Indonesia banyak Perempuan Papua yang terlibat dalam Gerakan Perjuangan HAM orang Papua seperti yang dilakukan oleh beberapa Kaka Perempuan Papua yang tidak dapat saya sebutkan nama-namanya satu persatu baik di Pulau Jawa dan juga di Papua melalui Organisasi Aliansi Mahasiswa Papua dan juga Parlemen Jalanan di Papua. Terlepas dari itu, ada Mama Tineke Rumkabu dan Insar-Insar di Byak berdiri bersama Para Pejuang HAM di Menara Air memperjuangkan Hak Politik Orang Asli Papua namun mendapatkan tindakan yang tidak manusiawi dan sangat biadap dari Oknum Anggota Keamanan yang kini dikenang sebagai Tragedi Byak Berdarah Tahun 1998 yang terus diperjuangkan oleh Mama Tineke Rumkabu dan kawan-kawan hingga mengelar Pengadilan Rakyat Internasional di Australia.
Pada tahun 2000-an keatas terlihat Gerakan Mama Papua di Pasar Tradisional Papua yang tergabung dalam Solpap memperjuangkan Pasar Khusus Bagi Mama Papua yang kini telah terbangun Mega di Jalan Percetakan Jayapura. Ditahun 2000an keatas juga mulai terlihal adanya Perempuan Papua yang menjadi Advokat dan mulai memperjuangkan Bantuan Hukum Bagi Orang Asli Papua korban Pelamggaran Hukum dan HAM di Tahan Papua seperti yang dilakukan oleh Kaka Ibu Olga Hamadi seorang Advokat Perempuan Papua yang selalu berdiri paling depan dalam memberikan Bantuan Hukum Cuma-cuma kepada Masyarakat Miskin, Marjinal dan Buta Hukum di Papua.
Pada Tahun 2010an mulai terdengar Suara Perempuan Papua Pejuang Hak Politik Orang Papua di kacah Internasional. Dialah Kaka Ibu Leoni Tanggahma anak Kandung Dari Ben Tanggahma seorang Diplomat Ulung Orang Asli Papua di kancah Internasional yang berhasil membangun kantor di Senegal. Kiprah Kaka Ibu Leoni Tanggahma sebagai Perempuan Papua Perjuang Hak Politik Orang Asli Papua terlihat pada saat Beliau ikut terlibat aktif dalam pembentukan wadah Persatuan Papua di Tingkat Internasional untuk memperjuangkan Hak Politik Orang Asli Papua.
Pada tahun 2015an sampai saat ini mulai terdengar Suara Perempuan Papua di Kursi Lembaga Kultur (MRP) melalui pernyataan-pernyataan dan sikap Politik yang dikeluarkan oleh beberapa Perempuan Papua Anggota MRP seperti Kaka Ibu Siska Abugau yang terus-terus mendesak Penarikan Militer dari Wilayah Adat Orang Migani (Intan Jaya) dan lain sebagainya.
Diawal tahun 2020an mulai terlihat nama Organisasi Perempuan Adat (ORPA) di wilayah adat Namblong yang berdiri memperjuangkan Hak Adat Masyarakat Namblong dari ancaman Perampasan Tanah Adat Papua yang dilalukan oleh PT.PNM atas pemberian ijin HGU yang diberikan oleh Pemerintah tanpa sepengetahuan Masyarakat Adat Namblong.
Sepengal kisah Perjuangan Perempuan Papua memperjuangkan Hak Orang Asli Papua diatas secara langsung menunjukan kuwalitas Politik Perempuan Papua yang luar biasa yang telah berjalan dari tahun 1940an sampai dengan Tahun 2022 ini. Dengan kepergian Kaka Ibu Leoni Tanggama ke Rumah Allah Bangsa Papua semoga menjadi penyubur Perjuangan Perempuan Papua dalam memperjuangkam Hal Sipil, Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya Orang Asli Papua di Muka Bumi ini.
Perempuan Papua Pejuang Hak Politik Orang Papua
Perjuanganmu Akan Menjadi Penyubur Gerakan Perempuan Papua dalam Memperjuangkan Hak Politik Orang Asli Papua di Bumi Manusia ko
